Oleh: majalah merah putih | Februari 27, 2012

1.305 Sekolah Belum jadi SBI. PROGRAM RSBI GAGAL TOTAL

1.305 Sekolah Belum jadi SBI

PROGRAM RSBI GAGAL TOTAL

Program mencetak Sekolah Berstandar Internasional (SBI) melalui pembentukan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang dimulai sejak 2005 lalu jalan di tempat. Sebagian besar sekolah terkesan mengakhiri perjuangan mereka ketika sudah mendapatkan label RSBI. Evaluasi 2011 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, seluruh RSBI yang ada di negeri ini belum layak menjadi SBI.


Hasil dari evaluasi tersebut menerangkan, jika seluruh RSBI yang jumlahnya mencapai 1.305 belum layak naik tingkat menjadi SBI. Kondisi ini cukup kontras dengan strategi awal pencananganan program. Waktu itu, dirumuskan jika keberadaan sekolah berlabel RSBI ini hanya cukup tiga tahun saja untuk SD, empat tahun (SMP), dan dan lima tahun (SMA dan SMK). Tapi nyatanya, sudah berjalan enam tahun tetap balum ada satu pun RSBI di negeri ini yang menjadi SBI.

Plt Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendikbud Suyanto mengatakan, faktor mandeknya perkembangan RSBI sebagai pioneer terciptanya SBI cukup banyak. Di antara yang paling mencolok, katanya, adalah faktor sumber daya alam (SDA). Lemahnya SDA pengajar di sekolah RSBI ini bisa dilihat dari komposisi guru bertitel S-2

Dikatakannya, SD berlabel RSBI jika ingin naik tingkat menjadi SBI harus menyiapkan minimal 10 persen guru bertitel S-2 atau pascasarjana. Sedangkan untuk tingkat SMP harus ada 20 persen guru lulusan S-2, dan tingkat SMA atau SMK harus ada 30 persen guru bergelar magister jika ingin naik tingkat menjadi SBI. ”Ketentuan komposisi ini masih belum terwujud di RSBI manapun,” kata dia usai memberikan penghargaan siswa pemenang catur tingkat dunia di Jakarta awal Januari 2012. Hampir di seluruh RSBI di negeri ini, pendidik yang tamatan S-2 masih kepala sekolah saja.

Tidak berkembangnya jumlah guru bergelar magister di sekolah RSBI  ini disorot oleh jajaran Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI). Ketua Umum PB PGRI Sulistyo menyayangkan kondisi kurangya guru-guru di sekolah RSBI yang lulus pascasarjana. ”Padahal, kementerian (Kemendikbud, red) memiliki program bantuan peningkatan kualifikasi pendidikan,” katanya.

Usut punya usut, ternyata saat upacara Hari Guru Nasional yang digelar November lalu, duit untuk program bantuan peningkatan kualifikasi peningkatan pendidikan guru tidak terserap optimal. ”Saat itu (November, red) Mendikbud mengatakan serapan bantuan masih 50 persen,” katanya.

Minimnya serapan uang bantuan untuk peningkatan kualifikasi pendidikan ini disebabkan karena amburadulnya data guru. Baik itu yang bersedia teken kontrak untuk kuliah S-2, atau pun data guru yang sedang menempuh pendidikan S-2. Sulistyo memuji sejumlah daerah yang memiliki inisiatif merotasi guru-guru yang ada di sekolah RSBI.

”Jadi, guru-guru yang lulus S-2 digeser ke sekolah RSBI,” katanya. Tetapi, lanjut Sulistyo, masih banyak perjuangan peningkatan komposisi kualifikasi guru yang hanya dijalankan marathon oleh kepala sekolah saja.

Tetap Optimistis Naik Kelas

GambarDi tengah karut marutnya urusan RSBI yang tidak kunjung menelorkan sekolah berlabel SBI, sempat memunculkan desakan untuk mengubah lagi menjadi SSN (Sekolah Standar Nasional). Usulan ini semakin kuat ketika di masyarakat cap RSBI sebagai sekolah berbiaya mahal kian melekat.

Terkait desakan penurunan RSBI menjadi SSN, Suyanto segera meluruskannya. Menurut dia, upaya yang lebih bijak adalah terus mendampingi keberadaan RSBI yang sudah ada saat ini. ”Kita dampingi, kita dorong terus untuk bisa menjadi SBI,” katanya.

Suyanto bahkan mengatakan, untuk sementara ini keberadaan RSBI bisa menghemat pengeluaran devisa negara. ”Dengan adanya RSBI ini, bisa menekan orang-orang menyekolahkan anaknya keluar negeri. Ke Singapura misalnya,” tutur pejabat yang gemar berjejaring sosial lewat Facebook itu.

Dia menegaskan, upaya pemerintah saat ini fokus untuk meningkatkan kualitas RSBI yang sudah ada. Di antaranya, menggenjot kualifikasi para pendidik sehingga bisa sesuai dengan ketentuan menjadi SBI. Supaya fokus kegiatan ini tidak terganggu, Kemendikbud menyetop sementara atau menjalankan kebijakan moratorium usulan RSBI baru. Bagaimana dengan tahun ini? Suyanto menegaskan, selama belum ada SBI, penghentian usulan pendirian RSBI baru masih distop.

Sementara itu, Suyanto juga berupaya meluruskan pandangan masyarakat jika RSBI itu dekat dengan sekolah yang berbiaya mahal. ”RSBI yang mahal itu hanya di Jakarta,” tegas dia. Suyanto mengatakan, ada daerah-daerah yang menjalankan program RSBI dengan baik.

”Contohnya di Surabaya. Ada aturan yang menggratiskan siswa miskin untuk belajar di RSBI,” katanya. Upaya ini sudah sejalan dengan ketentuan Kemendikbud yang mewajibkan setiap sekolah RSBI menyisihkan 20 persen kuota untuk anak miskin berprestasi. Dia mengatakan, di lapangan banyak sekolah yang kesulitan ketika harus menutup kuota untuk anak miskin berprestasi itu.

Di tengah ketidakpastian akan munculnya sekolah berlabel SBI, dia mengaku optimistis target itu masih tetap ada. Apalagi, pembentukan SBI ini adalah amanah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 50 Ayat 3. Yang bunyinya, pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan di semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.

Suyanto mengatakan, pendampingan peningkatan RSBI menjadi SBI bakal dilakukan secara optimal. ”Kami tidak ingin SBI nanti hanya gagah-gagahan saja,” ucapnya. Dia juga tidak memungkiri, kualitas RSBI yang mulai menjamur dua tahun terakhir tidak semuanya bagus. Dia menganalogikan, kualitas RSBI seperti degradasi warga. Ada yang bagus dan sedang. Bahkan ada RSBI yang kualitasnya di bawah sekolah yang masih berlabel SSN atau tidak berlabel sekalipun.


Langgar Konstitusi

Keberadaan Rintisan Sekolah Bersatandar Internasional (RSBI) di Indonesia kini mulai dipertanyakan. Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan (KAKP) melayangkan gugatan terhadap RSBI ke Mahkamah Konstitusi. Dalam gugatannya, KAKP meyakini penyelenggaraan RSBI melanggar hak konstitusi sebagian warga negara dalam pemenuhan kewajiban mengikuti pendidikan dasar.

Menurut KAKP  penyelenggaraan RSBI juga memicu dualisme sistem pendidikan nasional karena mengacu pada kurikulum yang terdapat pada lembaga pendidikan negara-negara Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Selain itu, penyelenggaraan RSBI pada sekolah publik juga melanggar sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, karena RSBI tidak dapat diakses anak-anak dari keluarga miskin.

“Kami memohon agar MK memutuskan menghentikan operasional dan anggaran semua RSBI di Indonesia sampai ada putusan MK terkait hal ini,” pinta KAKP yang disampaikan Pemerhati pendidikan yang juga menjadi peserta aksi, Jimmy Paat.

Ditegaskannya, penyelengaraan RSBI melanggar konstitusi karena bertentangan dengan semangat dan kewajiban negara mencerdaskan kehidupan bangsa serta menimbulkan dualisme sistem dan liberalisasi pendidikan di Indonesia. Selain itu, RSBI juga dianggap menimbulkan diskriminasi dan kastanisasi dalam bidang pendidikan serta berpotensi menghilangkan jati diri bangsa Indonesia yang berbahasa Indonesia.

“Pendidikan yang sejatinya merupakan prasyarat bagi pelaksanaan hak asasi manusia dirancang dan dibatasi tidak untuk seluruh rakyat Indonesia. Ini tecermin dengan adanya ketentuan mengenai RSBI,” ujar Jimmy.

Atas dasar itu, KAKP melalui tim kuasa hukum mengajukan permohonan judicial review pada Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) kepada MK dengan harapan majelis hakim MK mangabulkan permohonan pembatalan Pasal 50 Ayat 3 UU Sisdiknas

Penyelenggaraan RSBI didasari pada Pasal 50 Ayat 3 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Pasal tersebut berbunyi, “pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.

Guna mendukung pemenuhan pasal tersebut, tambahnya, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan, seperti PP No 17/2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan serta Permendiknas No 78/2009 tentang penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional yang kemudian menjadi dasar penyelenggara RSBI untuk memungut bayaran yang tinggi kepada warga negara. “Tapi, nyatanya menjadi tidak terjangkau oleh masyarakat miskin,” tutur Jimmy.

 Tak Layak Dilanjutkan

Kebijakan RSBI dinilai telah gagal meningkatkan mutu pendidikan nasional. Program tersebut justru memperburuk kondisi pendidikan nasional. Sejak kebijakan RSBI diberlakukan, berbagai persoalan muncul, mulai dari pembiayaan yang harus ditanggung oleh siswa sampai mahalnya biaya pendidikan hanya karena ada label RSBI.Padahal, dalam konstitusi jelas disebutkan mencerdaskan rakyat adalah kewajiban negara. Persoalan lainnya adalah RSBI telah memunculkan kasta dalam pendidikan nasional, tegas anggota Komisi X DPR, Rohmaini, baru-baru ini.

Dikatakannya, pendidikan itu untuk menyejajarkan seluruh anak negeri. Semua berhak mendapatkan pendidikan yang layak tanpa memandang status kemampuan ekonominya. Faktanya RSBI milik kelas ekonomi tertentu.

Setelah 6 tahun berjalan, program RSBI belum menunjukkan kemajuan pembangunan pendidikan nasional. Bahkan, tujuan dari RSBI belum juga terwujud, yaitu mencetak sekolah bertaraf internasional (SBI).Hal ini, menurut Rohmani, patut dipertanyakan karena sejak tahun 2005 hingga saat ini belum satu pun sekolah yang berstatus SBI.

Sedangkan anggaran yang dikeluarkan pemerintah miliaran rupiah untuk menjadikan SBI. Belum lagi dana yang dipungut dari orangtua murid. Namun, hingga hari ini hasilnya belum ada. Untuk itu, Rohmani kembali meminta pemerintah mengoreksi kebijakan RSBI. Menurut dia, semua sekolah berhak mendapat perlakuan yang sama layaknya fasilitas yang diterima sekolah RSBI, bukan sekolah yang berlabel RSBI saja. ”Sebaiknya,pemerintah diminta menghentikan rintisan sekolah bertaraf internasional atau sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI), pintanya.

Anggota Komisi X lainnya, Dedi S Gumelar, mengatakan, pada program RSBI/SBI dianggap banyak terjadi penyimpangan di masyarakat. Padahal, selama ini ada banyak sekolah baik dengan kualitas siswa berkelas dunia tanpa harus dilabel sebagai sekolah internasional. “SBI harus dikoreksi. SBI hanya menjadi market label. Subtansinya tidak memiliki mutu berkelas internasional,” ujar Dedi.

Sebaiknya Dihapus

Desakan untuk menghentikan  Rintisan Sekolah Berstandar Internasional juga dating dari Fraksi  Demokrat  DRPD Jawa Tengah. Fraksi  Demokrat meminta keberadaan RSBI  di Jawa Tengah harus  dievaluasi. Bahkan karena dianggap tak berkontribusi di dunia pendidikan, Partai berlambang Mercy itu, mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, agar segera menghapusnya.

Anggota Komisi C DPRD Provinsi Jateng dari Fraksi Demokrat, Prajoko Harjanto mengatakan keberadaan RSBI dinilai sebagai sekolah eksklusif yang justru menjadi lembaga pendidikan komersil. “Ya, lebih baik dihapuskan saja,” ujarnya.

Terlebih menurutnya, RSBI dianggap tidak meningkatkan mutu pendidikan dan menutup akses kesempatan bagi warga kurang mampu. “Sekolah tersebut terkesan menjadi sekolah eksklusif bagi orang kaya saja. Padahal mestinya sekolah tersebut diperuntukkan bagi anak-anak yang memiliki prestasi,” kata Prajoko.

Dijelaskannya, khusus di Provinsi jawa Tengah jumlah sekolah RSBI ada 192 sekolah. Terdiri dari 12 Sekolah Dasar (SD), 66 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 55 Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 59 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

 Konsep Gagal Harus Ditinggalkan

Ikatan Guru Indonesia (IGI) juga menyampaikan petisinya menyangkut RSBI/SBI yang dinilai gagal. RSBI/SBI justru akan menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Masyarakat akan merasa dibohongi dengan program ini dan pada akhirnya akan menuntut tanggung jawab pemerintah yang mengeluarkan program tersebut ujar Ketua Umum IGI Satria Dharma ketika bertemu dengan Komisi IX DPR-RI beberapa waktu lalu.

Bagaimana pun kata Satria, konsep dan janji RSBI/SBI sebagai sekolah berkelas dunia, dengan segala sistem manajemen, mutu guru, sarana, infrastrukturnya, dan kriterianya, tidak akan bisa dipenuhi. Program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya, dan 90 persen pasti gagal, sindirnya. Buktinya saat ini telah dibuktikan kegagalannya.” “Di luar negeri, konsep ini gagal dan ditinggalkan,” kata Satria.

Sedangkan Ketua Dewan Pembina IGI Ahmad Rizali menambahkan, pemerintah mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL lebih dari 500. Padahal, tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dan kemampuan mengajar hard science dalam bahasa Inggris. “TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogi,” kata Rizali.

Pengutamaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar juga memprihatinkan. Padahal, di Jepang, China, dan Korea justru menggunakan bahasa nasionalnya, tetapi siswanya memiliki kualitas dunia.

Dikatakan Satria, dari kajian Balitbang Kemdikbud sebenarnya kebijakan RSBI/SBI ini suram. Kebijakan ini justru menunjukkan pemerintah yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan.

”Orang kaya yang mampu membayar lebih mahal dapat layanan pendidikan yang lebih baik. Anehnya, kebijakan diskriminatif seperti ini dipertahankan,” kata Satria.

Tidak efektif

Soal bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah-sekolah yang ternyata tidak efektif, termasuk di Indonesia lewat program RSBI/SBI, telah dikaji British Council. Simposium dilaksanakan selama dua hari mulai Rabu (9/3/2011) ini.

“Kalau ingin fasih dalam berbahasa Inggris, perkuat bidang studi bahasa Inggris dan bukan bahasa asing itu dijadikan bahasa pengantar pendidikan,” papar Satria. Dampak yang paling terasa dengan kebijakan RSBI/SBI adalah terciptanya diskriminasi dan kastanisasi dalam pendidikan sehingga menjadi sangat komersial. Satria mengatakan, komersialisasi pendidikan inilah yang kita tentang karena hanya anak orang kaya yang bisa sekolah.

Secara terpisah, dalam rapat kerja nasional Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta Indonesia (ALPTKSI) juga mendesak penghentian RSBI/SBI. Program ini akan membuat pendidikan kita disfungsional dan mengancam aspek paling strategis dalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, yaitu sumber daya kepemimpinan nasional.

“Dengan menetapkan standar internasional, sesungguhnya kita diperbudak oleh kekuatan global yang memaksa kita memandang keluar (outward looking) dan mengabaikan berbagai kepentingan nasional. Dunia pendidikan harus melayani apa yang menjadi kebutuhan stakeholder-nya. Akibat kebijakan ini akan membuat upaya pendidikan kita semakin tak nyambung dengan kebutuhan,” kata Ketua ALPTKSI Sulistiyo.

Diskriminatif

Dinas Pendidikan DI Yogyakarta diminta meninjau ulang  RSBI, karena dinilai diskriminatif terhadap siswa dari keluarga miskin, pinta Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Kulon Progo Didik Suratman “Kami sangat menyayangkan pelaksanaan RSBI di Kulon Progo yang sangat diskriminatif terhadap siswa dari keluarga miskin. RSBI menerima siswa yang tingkat kepintarannya rendah tetapi memiliki uang banyak, namun tidak menerima siswa miskin yang sangat pintar karena tidak memiliki uang,” ujar Didik pada sebuah pertemuan dengan Disdik DI Yogyakarta belum lama ini. Ia mengungkapkan, orientasi RSBI juga harus ditinjau ulang, sehingga pendidikan di RSBI tidak hanya untuk siswa dari keluarga kaya, tetapi juga dapat dirasakan semua kalangan masyarakat.

“Kami berharap Dinas Pendidikan juga memberikan beasiswa kepada siswa miskin yang masuk di sekolah RSBI. Sekolah RSBI bukan hanya untuk siswa kaya, tetapi untuk semua kalangan masyarakat,” katanya.

Hal yang sama dikatakan anggota Komisi IV DPRD Kulon Progo Kasdiono. Ia menilai, pelaksanaan RSBI perlu ditinjau ulang, karena tidak ada jenjang yang berkelanjutan.

“Sejauh ini tidak ada jaminan siswa lulusan sekolah RSBI dapat masuk kembali ke SMA yang juga RSBI. Selain itu, tidak ada jaminan lulusan SMA/SMK RSBI yang diterima di perguruan tinggi yang mereka idamkan. Kami menilai pelaksanaan RSBI perlu ditinjau kembali,” katanya.

Kasdiono mengatakan, dalam kelulusan siswa terdapat tiga hal yang lebih utama, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik dibandingkan dengan kemampuan berbahasa asing dan penguasaan teknologi.

“Kami menilai, pelaksanaan RSBI hanya mengutamakan kemampuan siswa dalam menguasai bahasa asing, dan menguasai informasi serta teknologi dibandingkan mengedepankan unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik,” ujar dia.

Menurutnya, biaya sekolah yang harus dikeluarkan siswa yang sekolah di RSBI sangat mahal karena harus membeli laptop, dan buku sekolah yang ganda, yakni buku yang berstandar internasional dan buku yang berstandar nasional, serta peralatan sekolah lainnya yang harganya sangat mahal.

“Jangan sampai ada sebutan ’rintisan sekolah biaya internasional’ dalam masyarakat, karena mahalnya biaya sekolah yang tidak diimbangi adanya jaminan siswa setelah lulus dari RSBI,” kata Kasdiono.

Jadi Komoditas

Hendarman, Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menjelaskan, kajian soal RSBI masih dilakukan. Diharapkan, sebelum tahun ajaran baru 2012 sudah ada indikator-indikator bagaimana sekolah menjadi RSBI ataupun SBI.

Tidak ada rencana dari Kemdikbud untuk menghentikan kebijakan RSBI/SBI. Justru Kemdikbud yang sudah mengevaluasi RSBI memilih untuk menetapkan indikator-indikator soal bagaimana sekolah menjadi RSBI/SBI.

Soedijarto, Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, mengatakan, pendidikan di Indonesia memang harus berkualitas internasional. ”Namun, tidak perlu memberi label di sekolah sebagai sekolah internasional. Yang justru menjadi pekerjaan besar, pemerintah haruslah meningkatkan mutu pendidikan dengan standar pendidikan yang terbaik untuk semua orang,” kata Soedijarto.***


Tinggalkan komentar

Kategori